Di masa pandemi yang tak kunjung selesai ini, kita sering dihadapkan dengan berbagai kebosanan. Aturan kebiasaan baru dan pembatasan-pembatasan membuat kita tidak bisa hidup bebas. Hidup kita terasa dikungkung dalam suatu kotak, sangat monoton dan tak banyak pilihan. Di samping itu, hidup kita juga terasa penuh risiko, mulai dari kesehatan, mental, ekonomi, hingga masa depan yang tak karuan. Tentu hal ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi bagi pemuda, tentu hal ini tak hanya sekedar cukup, tapi sangat mengkhawatirkan.
Pemuda yang sejatinya ingin selalu bebas, memiliki ambisi-ambisi besar, hidup penuh dengan berbagai rencana tapi justru dihadapkan dengan pandemi yang tak kunjung selesai. Risiko-risiko kegagalan tentu akan semakin sering ada dalam bayang-bayang mereka. Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa hidup dalam berbagai risiko. Maka, seperti apa sebaiknya pemuda menghadapinya?
Kiranya, pemuda perlu memahami lagi, hal-hal apa saja yang bisa memperlebar dan mengurangi kegagalan di masa pandemi ini. Mereka juga perlu belajar bagaimana seharusnya karakter yang dibangun, bagaimana agar bisa berani mengambil berbagai risiko di masa pandemi ini. Karena sebagaimana perkataan tokoh bangsa ini, Sutan Sjahrir, bahwa “Hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan”.
Karakter Penghindar dan Pengambil Risiko
Rhenald Kasali dalam bukunya “Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger?” menjelaskan apa saja karakter seorang penghindar dan pengambil risiko. Pertama, pengindar risiko. Ia memiliki karakter yang cenderung: a) takut sebelum berbuat sesuatu; b) mencintai kondisi yang ada; c) kurang berani mengambil keputusan; d) orang yang egosentris; dan e) menghindari ekspos publik. Dari penjelasan tersebut dapat kita pelajari, bahwa terdapat kecenderung menjadi penakut dan menutup diri bagi seorang penghindar risiko. Ia lebih memilih tenang dalam zona amannya, enggan bergerak ke zona yang lebih menantang dan besar.
Kedua, pengambil risiko. Ia memiliki karakter yang cenderung: a) bersedia berkorban; b) mau menerima konsekuensi; c) tidak cari aman; dan d) menerima julukan-julukan sinis. Dari penejelasan tersebut tentu kita juga belajar, bagaimana kontrasnya karakter yang dibangun antara seorang penghindar dan pengambil risiko. Bagi seorang pengambil, hidupnya adalah sebuah pertaruhan. Ia justru menikmati hidupnya dengan mengorbankan diri, menjemput kepahitan-kepahitan hidup, ia sama sekali tidak takut, karena ia selalu berpikiran jangka panjangnya. Ia selalu berpikiran, bahwa di masa-masa yang akan datang ia harus menjadi orang besar, orang yang lebih baik. Ia berani mengambil berbagai risiko-risiko hidupp, keluar dari zona aman dan berani menghadapi berbagai konsekuensi. Bahkan pada puncaknya, ia sama sekali tak menghiraukan stigma negatif orang-orang sekelilingnya, seperti stigma terlalu naïf, berlebihan, dan tidak rasional.
Berani Mengambil Risiko di Masa Pandemi
Dalam buku yang sama, Rhenald Kasali juga menjelaskan bagaimana cara melatih diri agar bisa mengambil risiko-risiko secara baik. Pertama, tidak membuang waktu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak orang menyesal di masa tuanya. Ia menyesali masa lalunya, hidup yang biasa-biasa saja sewaktu masih muda. Ia baru sadar bahwa ternyata banyak waktunya yang terbuang sia-sia. Maka dalam konteks pemuda, perlu kiranya mereka segera bergegas mengisi waktu-waktu yang dimiliki. Apalagi di masa pandemi ini, yang barangkali hanya akan dirasakan sekali dalam seumur hidup, banyak hal-hal baru yang bisa dicoba. Dengan begitu mereka akan memiliki banyak pengalaman baru, belajar karakter-karakter baru, belajar menguraikan dan menyelesaikan masalah baru, belajar teknologi baru dan sebagainya. Hal-hal seperti itulah yang di masa depan nanti akan sangat berharga.
Kedua, melatih dan menumbuhkan persepsi. Pemuda perlu melatih persepsi sejak sedini mungkin. Persepsi mereka tentang pidato misalnya. Pada mulanya mungkin mereka mempersepsikan pidato sebagai kegiatan yang eksklusif dan susah. Tapi lama-kelamaan, setelah mereka sering berlatih pidato, disiplin evaluasi, banyak-banyak belajar seperti apa pidato yang baik, persepsi mereka akan terus tumbuh, yang dahulunya merasa takut dan susah menjadi sangat berani dan mudah saja melakukannya. Begitupun di masa pandemi ini, mereka juga perlu terus melatih persepsi, semisal terkait teknologi dan kegiatan-kegiatan online. Mereka perlu berlatih itu semua, karena barangkali, walaupun pada mulanya tidak suka dan belum terbiasa, di masa yang akan datang justru menjadi sebaliknya. Dan pada masa itu mereka sudah siap.
Ketiga, mengukur kemampuan. Pemuda seringkali melakukan blunder-blunder dalam hidup, hal tersebut dikarenakan kurangnya pengukuran. Maka menjadi penting, mereka berlaih memetakan risiko dan konsekuensi-konsekuensi secara detail dari setiap langkah. Mereka memang tidak salah memiliki ambisi-ambisi besar, tapi mereka juga perlu menginsyafi diri, mengukur kemampuan diri, mengukur besaran risiko. Mereka memang benar perlu berlatih mengambil risiko-risiko, tapi adalah juga tidak baik jika mereka tidak mengenali risikonya. Untuk itu, di masa pandemi ini, masa yang penuh dengan dinamika dan ketidakpastian, mereka sangat perlu berlatih mengukur itu semua. Sehingga kerugian dan blunder-blunder pun bisa diminalisir.
Akhir kata, di masa pandemi ini, pemuda memang perlu berani mengambil risiko. Mereka harus tetap melakukan apa-apa, memiliki apa-apa, dan menjadi apa-apa di masa depan nanti. Sebagaimana perkataan penulis Amerika Serikat, Leo Buscaglia, bahwa “A person who risks nothing, does nothing, has nothing, and is nothing. He may avoid suffering and sorrow, but he can not learn, feel, change, grow, and love. Chained by his certitude, he is a slave; he has forfeited his freedom. Only the person who risks is truly free”.