KEGIATAN Listed all our awesome blog posts, hospital news!

Asa Keadilan Gender di Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari perempuan seringkali dipandang sebelah mata. Mereka dipandang lebih lemah dan dituntut untuk selalu tunduk pada laki-laki. Ruang-ruang untuk bernegosiasi seolah sudah tertutup rapat. Kultur kesalingan sama sekali ditanggalkan. Padahal, founding father negara ini, Soekarno, pernah berkata bahwa “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali”. Perkataan tersebut menegaskan bagaimana seharusnya antara laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi dan bahu-membahu. Karena hanya dengan begitulah keadilan bagi perempuan akan bisa ditegakkan. Karena hanya dengan begitulah kesejahteraan bersama akan bisa didapatkan.

Harus diakui bahwa perjuangan perempuan menegakkan keadilan sangatlah berat. Namun, bukan berarti mereka sama sekali tidak bergerak. Sebut saja pada tahun 1908 sekitar lima belas ribu perempuan menuntut perbaikan jam kerja dan standar upah di New York, sementara saat Perang Dunia I, tepatnya 8 Maret 1913, para perempuan di Rusia melakukan aksi damai sebagai wujud penolakan terhadap adanya perang, dan sejak Perang Dunia II hingga saat ini 8 Maret-pun kemudian dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional (CNN Indonesia, 03/20). Artinya, mereka tetap bergerak dan menorehkan sejarahnya sendiri untuk sebuah perubahan. Mereka memang tidak selemah yang selama ini distigmakan.

Tahun ini, Hari Perempuan Internasional mengangkat tema #ChooseToChallenge. Tema ini memberikan isyarat bahwa dunia saat ini sedang penuh dengan tantangan, diantaranya adalah bias dan ketidakadilan gender, maka setiap kita perlu berani memilih dan menantang tantangan tersebut, setiap kita bertanggungjawab atas diri sendiri dan perubahan menuju dunia yang lebih inklusif (Fimela, 03/21). Walaupun di tengah pandemi, tentu kampanye keberanian seperti ini harus terus digaungkan.

Hal itu menjadi penting karena akar dari ketidakadilan gender adalah konstruk sosial yang patriarki. Dan hal tersebut sudah berjalan sangat lama. Maka, tidak ada kata kendor sedikitpun untuk mencapai keadilan gender. Usaha yang perlu dilakukanpun minimal adalah dengan terus melakukan kampanye. Karena dengan begitulah pelan-pelan opini publik akan berubah. Sehingga konstruk sosial di masyarakat akan mengalami pergeseran ke arah yang lebih adil. Karena sebenarnya, hal inipun juga selaras dengan tujuan kelima Sustainable Development Goals (SDGs).

Tujuan kelima SDGs adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan. Untuk mencapai tujuan tersebut setidaknya perlu ditempuh dengan enam usaha, yaitu a) mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di manapun; b) menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya; c) menghilangkan semua praktik berbahaya, seperti pernikahan anak, pernikahan dini dan paksa, serta sunat perempuan; d) mengenali dan menghargai pekerjaan mengasuh dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, infrastruktur dan kebijakan perlindungan sosial, dan peningkatan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan keluarga yang tepat secara nasional; e) menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat; dan f) menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, dan hak reproduksi. Keenam usaha ini perlu menjadi acuan berbagai pihak. Sehingga dapat termanifestasikan dalam bentuk kebijakan (makro), kultur kelompok atau masyarakat (mezzo), dan tindakan individu dalam kehidupan sehari-hari (mikro). Karena jika usaha yang dilakukan komprehensif, maka bukan tidak mungkin tujuan kelima SDGs akan bisa segera tercapai.

Apalagi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tren Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia terus saja membaik. Rinciannya yaitu 0,466 (2015), 0,454 (2016), 0,445 (2017), 0,436 (2018), dan 0,421 (2019). Tren baik ini setidaknya menjadi asa bagi keadilan gender di Indonesia. Asa di tengah polemik dan sentimen perjuangan kaum perempuan memperoleh keadilannya. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa selama ini perjuangan keadilan gender di Indonesia senantiasa dibenturkan dengan berbagai ideology, tafsir keagamaan, dan adat-istiadat.

Maka, pada akhirnya, perjuangan kaum perempuan adalah lebih banyak melawan diri sendiri dan saudaranya. Diri sendiri karena mereka dibesarkan dalam bingkai konstruk sosial yang sudah patriarki. Sehingga pelan tapi pasti mereka harus melawan nilai-nilai yang bias dalam dirinya sendiri. Di sisi lain, mereka juga harus melawan saudaranya sendiri. Saudara disini lebih dalam artian identitas, kelompok, atau lingkungannya. Tapi, sebagaimana kata R.A. Kartini. “Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan rasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri. Artinya, belajar dari R.A. Kartini, kebahagiaan perempuan adalah ketika mereka bisa berkontribusi pada perjuangan keadilan gender. Besar kecilnya kontribusi tentu tak jadi masalah. Karena perjuangannya memanglah sangat panjang. Untuk itu, perempuan harus berani memilih menantang ketidakadilan di setiap eranya.

Tweet Like Share Share Pin it Email
Loading...

What others say about “Asa Keadilan Gender di Indonesia” ? (0 Comments)

Leave a Comment


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.