“Minke bersikap tenang seakan tak terjadi sesuatu. Ia tak punya keinginan membawa perbekalan. Yang dibawa hanya kertas-kertasnya.” (Rumah Kaca, hlm. 68-69)
Semakin kesini, tingkat literasi negeri ini semakin ngeri. Bagaimana tidak, laporan terbaru Programme for International Student Assessment (2019) menyatakan bahwa skor membaca Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara (Liputan 6, 12/19). Sungguh ironi, karena literasi yang merupakan ruh peradaban suatu negeri justru semakin menepi dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kiranya sudah terlihat bagaimana gambaran cita-cita Indonesia Emas di masa mendatang nanti.
Padahal, negeri terbahagia dan dengan peradaban terbaik saat ini, Finlandia, merupakan negeri dengan tingkat literasi yang tinggi. Hal tersebut merujuk pada laporan European Literacy Policy Network (2015) bertajuk “Literacy in Finland: Country Report Children and Adolescent”, laporan tersebut menyatakan bahwa 44% anak-anak menikmati kegiatan membaca (Mizan Store, 08/19). Belum lagi berbicara rata-rata waktu membaca penduduknya yang mencapai 6-8 jam, sementara Indonesia hanya sekitar 2-4 jam (Tempo, 10/15).
Betapa timpangnya memang cita-cita dan realita negeri ini. Lalu siapa yang salah? Tentu tak ada jika yang ditanya “siapa”. Menyalahkan pemerintah semata pun barangkali juga hanya sebuah hal yang klise. Setiap kita, seluruh elemen, perlu segera merefleksikan diri, menginsyafi diri, dan membuat lompatan aksi yang bijak untuk merespon realita ini. Tak patut hanya sekedar menyesali realita, karena upaya perbaikan-perbaikan dari setiap kita harus senantiasa dituntut. Bahkan tak peduli siapa diri kita ini, betapapun kita hanyalah orang kecil, minoritas, marginal, pelosok, ataupun justru elitis, kita tetap harus ikut berkontribusi sekecil apapun.
Apalagi, fakta-fakta sejarah sudah sedemikian rupa memberikan teladan bagi kita. Sebut saja Bung Hatta yang rela dipenjara asalkan bersama buku. Bung Karno yang membangun keberanian berorasi dan berdebatnya dengan rakus membaca. Kartini yang aktif menulis di tengah kurungan patriarki. Wiji Thukul yang terus membaca dan berkarya di tengah kepungan terror. Dan terakhir, sang maestro, Pramoedya Ananta Toer, yang terkenal dengan kata-kata mengharukannya ketika hendak ditahan “Kalian boleh membawa semuanya, tapi saya mohon jangan ada kertas yang dirusak. Jika negara membutuhkannya, ambillah, tapi jangan rusak satu pun”.
Beberapa fakta sejarah tersebut setidaknya dapat menjadi penegas, bahwa literasi dan peradaban sangat berkaitan erat. Bagaimana tradisi literasi yang kuat bias melahirkan banyak hal. Melahirkan tokoh-tokoh perubahan besar. Melahirkan gagasan-gagasan besar. Dan yang paling penting, juga melahirkan keberanian-keberanian untuk melakukan perubahan besar. Kebanyaktahuannya tentang hal-hal baru membuat mereka selalu resah. Selalu mempertanyakan hal-hal yang sudah mapan. Dan selalu ingin melakukan perubahan. Dialektika-dialektika seperti itulah yang kiranya akan membangun peradaban sebuah negeri.
Sayangnya kini, tradisi literasi belum sekuat dahulu lagi. Akibatnya, tokoh-tokoh besar yang selalu berpihak kepada rakyat sangat jarang dijumpai. Gagasan-gagasan besar sangat jarang dipresentasikan. Dan orang-orang semakin takut melakukan perubahan besar. Mereka lebih nyaman menjalani hidup sehari-sehari dengan mengalir. Lebih senang mengikuti tren yang ada. Hidup konsumtif dan tak produktif. Sehingga justru oligarki, intelektual blanko dan aktivis burjois lah yang lebih sering kita jumpai. Maka janganlah heran jika belakangan negeri ini selalu saja semrawut. Karena hal tersebut sudah konsekuensi logis dari apa yang ditradisikan masyarakatnya.
Dan sekali lagi, kita tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kita renungkan saja kata-kata Sujiwo Tejo itu, “Kenapa aku suka senja? Karena negeri ini kebanyakan pagi, kekurangan senja, kebanyakan gairah, kurang perenungan”. Selamat berenung-berenung. Selamat berefleksi. Dan selamat berliterasi di dalam diri sendiri.
What others say about “Berliterasi di Dalam Diri Sendiri” ? (0 Comments)