Di suatu malam, penulis berbincang-bincang dengan seorang kawan, arah bahasannya adalah seputar karang taruna. Maklum saja, karena pada waktu itu penulis memang sedang ingin mengaktifkan kembali karang taruna yang sudah lama vakum. Vakum yang dimaksud adalah tiadanya kegiatan-kegiatan kepemudaan dan kemasyarakatan, karang taruna hanya sekedar strukturnya saja. Sehingga pada malam itu, penulis bermaksud tukar pikiran dengan kawan tersebut, bagaimana nantinya karang taruna tersebut bisa aktif kembali.
Sang kawan tersebut kemudian bercerita, tapi bukan tentang proses mengaktifkan kembali dan karang tarunanya mau seperti apa, tapi lebih ke proses setelah karang taruna itu sudah aktif akan bagaimana. Ia bercerita, bahwa hal yang paling penting dalam sebuah organisasi, tak terkecuali karang taruna, adalah bangunan nilainya. Sehingga arahnya nanti adalah bagaimana agar karang taruna tersebut bisa menjadi wadah pembentukan karakter.
Ia kemudian bercerita tentang kisahnya sendiri, sewaktu membangun karang taruna di tempatnya. Di awal-awal setelah aktif kembali, ia membangun beberapa nilai di karang taruna tersebut. Semisal ketika sedang rapat para pemuda dilarang merokok karena demi menghargai temannya yang tidak merokok dan para perempuan. Singkatnya, mereka perlu belajar kepedulian terhadap orang lain, dan hal itu dimulai terlebih dahulu dengan teman-temannya sendiri. Karena bayangkan saja, teman-teman mereka tersebut bisa jadi di beberapa tahun ke depan akan sakit paru-paru atau terkena kanker, padahal dia bukanlah seorang perokok.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa hal tersebut memanglah sepele. Tapi jika bisa dibudayakan dalam karang taruna tersebut maka akan bisa menjadi karakter berharga bagi mereka. Sehingga ketika mereka keluar kampung, mereka akan bisa berharga, karena mereka bernilai. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa hidup dengan berlandaskan nilai. Tidak hidup sekedar hidup. Dan itulah bekal hidup yang paling hakiki. Karena hanya dengan begitulah, dimanapun berada nantinya seseorang tetap akan bisa hidup bahagia dan mulia.
Menarik sekali memang apa yang telah diceritakan sang kawan tersebut. Penulis pun jadi teringat dengan kata-kata Pram dalam buku Jejak Langkah-nya, “Individu yang paling maju, yang berprestasi paling tinggi, bisa berhenti berkembang, bisa merosot ditelan lautan tradisi yang kurang baik”. Perkataan tersebut juga memberikan isyarat, bahwa betapa pentingnya sebuah budaya (tradisi). Bahkan Pram hingga menggambarkan bagaimana seseorang yang paling mulia (maju) pun bisa menjadi sebaliknya gara-gara dibentuk oleh tradisi yang buruk.
Sehingga, pasca perbincangan malam itu, penulis pun justru berpikir ulang lagi, apakah sudah perlu segera mungkin karang taruna diaktifkan kembali? Apakah sudah siap nilai-nilai apa saja yang nantinya akan dibangun? Karena barangkali akan sama saja nanti jadinya (vakum lagi), ketika karang taruna diaktifkan kembali tapi dengan kering nilai. Orang-orang di dalamnya barangkali hanya akan menjadi orang yang musiman dan pragmatis. Mereka tidak memiliki keteguhan nilai. Dan sudah barangtentu ini adalah hal yang menggelikan, kita berbuat baik tapi hanya untuk mengulangi kesalahan orang-orang terdahulu. Jangan sampai!
What others say about “Cerita Sang Kawan, Bagaimana Seharusnya Karang Taruna Dibangun?” ? (0 Comments)