“Bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi pikiran atau persepsi akan hal-hal dan peristiwa tersebut”, demikianlah yang pernah dikatakan Epictetus. Perkataan tersebut setidaknya memberikan pesan kepada kita agar senantiasa bijak-bijak dalam mengendalikan diri kita sendiri. Artinya, kita dituntut untuk lebih fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan daripada yang tidak. Fokus dengan diri sendiri daripada dengan keadaan di luar diri. Karena dengan begitu, hidup kita akan lebih tenang, bahagia, dan terhindar dari emosi-emosi negatif yang bisa mengakibatkan depresi.
Di masa pandemi ini, kendali diri kita semakin diuji. Hal tersebut merujuk pada temuan terbaru peneliti Universitas Toronto, Kanada, yang menyebutkan bahwa selama pandemi ini terjadi kenaikan tiga kali lipat tingkat depresi (CNN Indonesia, 09/20). Temuan tersebut perlu segera menjadi perhatian bersama. Setiap kita perlu bisa segera beradaptasi dengan keadaan. Apalagi, tak ada yang bisa menjamin pandemi ini akan berlangsung sampai kapan. Dan itu adalah hal di luar diri kita, hal yang sangat sulit dikendalikan, atau bahkan justru tidak bisa dikendalikan. Maka, yang paling bijak adalah bagaimana agar kita bisa mengendalikan diri kita sendiri? Agar kita bisa tetap hidup tenang dan bahagia di masa pandemi.
Kita perlu membiasakan diri agar tidak mudah menghakimi, tidak mudah melakukan intepretasi-intepretasi. Kita perlu lebih bijak dan sabar dalam menyikapi setiap keadaan. Karena dengan begitu, kita akan cenderung bisa meminimalisir emosi-emosi negatif dalam diri kita sendiri. Hal inilah yang kemudian ditekankan Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul “Filosofi Teras”, sebuah uraian tentang filsafat (Stoa) Yunani-Romawi Kuno untuk mental tangguh masa kini. Lebih lanjut, dalam bukunya ia mengatakan, agar kita bisa mengendalikan diri dari emosi-emosi negatif, kita bisa mencoba teknik S-T-A-R (Stop, Think, Assess, Respond).
Pertama, stop. Mula-mula kita perlu membiasakan berhenti ketika menghadapi banyak emosi negatif dalam diri. Berhenti sejenak, mengambil jeda, dan tidak terus-menerus larut dalam emosi tersebut. Rasanya hal ini memang sangat sulit, karena kita sudah terbiasa berlarut-larut ketika berhadapan dengan emosi negatif. Terbiasa lama meratapi dan bersedih hati. Tapi, asalkan kita mau berlatih, mencoba jalan atau budaya yang berbeda, pasti akan bisa.
Kedua, think. Setelah berhenti dan mengambil jeda. Selanjutnya kita berusaha berpikir. Menggunakan rasio. Jangan-jangan kita terlalu buru-buru saja. Sehingga pelan-pelan kita akan bisa menekan emosi negatif kita dengan perbincangan emosi dan rasio. Kita belajar untuk menyeimbangkannya, serta tidak berlarut-larut menuruti emosi.
Ketiga, assess.Selanjutnya, setelah cukup seimbang, mulailah melakukan penilaian terhadap diri sendiri. Perasaan kita sudah tepat atau belum? Kita sudah objektif atau masih subjektif? Hal ini menjadi penting karena seringkali kita terjebak pada bias-bias subjektif. Semisal orang Jawa memandang orang Batak pemarah, itu adalah subjektif, fakta objektifnya mereka berbicara keras, dan mereka tidak sedang marah. Di sisi lain, kita juga perlu berefleksi, emosi negatif tersebut disebabkan oleh hal-hal yang di dalam kendali atau di luar kendali kita? Ini menjadi penting karena akan sangat berkaitan dengan respon.
Keempat, respond. Terakhir, setelah kita sudah berusaha berhenti, berpikir, dan menilai, kita akan menentukan respon seperti apa yang akan dikeluarkan. Harapannya, setelah tiga langkah tadi sudah dilalui, emosi akan bisa turun dan ternetralkan. Sehingga kita cenderung akan bisa merespon dengan positif. Baik respon secara perkataan maupun tindakan. Dengan begitu, kita akan terbiasa merespon hal-hal dalam hidup secara positif, dan itu akan membawa kita pada ketenangan dan kebahagiaan hidup dalam berbagai keadaan.
Teknik S-T-A-R tersebut juga menyadarkan kita, bahwa kita perlu berpetualang lebih jauh lagi ke dalam diri sendiri. Mata air kebahagiaan justru ada di dalam diri kita sendiri. Kita perlu lebih memberi kepercayaan pada diri kita sendiri. Bahwa diri sendiri berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Bahwa kebahagiaan tidak melulu bergantung pada faktor eksternal. Ada jalan lain, ada harapan lain yang bisa terus kita rawat dan latih, yaitu mengendalikan diri kita sendiri.
Namun, pada akhirnya, teknik tetaplah teknik. Ibarat mata pisau, ia perlu terus diasah (dilatih). Jangan biarkan ia hanya menjadi pajangan, tak berguna, dan perlahan tumpul. Maka, ujian kita sesuhungguhnya adalah setelah memahami teknik S-T-A-R ini, apakah kita hanya cukup mengetahuinya saja? Atau apakah kita akan terus mencoba melatihnya? Karena sebagaimana kata Epictetus, “Janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi tunjukkanlah tindakan nyata sesudah kamu mencernanya”.
What others say about “Diri Kita Adalah Mata Air Kebahagiaan” ? (0 Comments)