Pembukaan dan perkenalan Padepokan ASA @Wedomartani kepada komunitas kratif dan masyarakat Jogja telah dilakukan 1 Oktober 2015 di Dukuh Gedongan Lor, Desa Wedomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman, DI Yogyakarta.
Dalam acara pembukaan dilakukan dialog santai dengan background gebyok utama Padepokan yang bernuansa ukiran Madura. Ada tiga narasumber yang dihadirkan dalam pembukaan: Mr. Hans B (pemilik tanah sebelumnya), Eko Prawoto (arsitek), dan Donny BU (ICT Watch). Selain tentu saja Sapto Anggoro selaku pendiri dan pemilik padepokan.
Acara dimulai dengan doa dari Bp Rois R Suroyo, dilanjut sambutan Kepala Dukuh Gedongan Lor Warsito, dan Bidang Kesra Desa Wedomartani Mujib S.Ag. Mereka mendoakan dan mendukung adanya padepokan.
Sapto dalam penyampaikan gagasannya menjelaskan, bahwa Padepokan ASA @Wedomartani diimpikan sejak tahun 2010. Karena ambisinya membangun kualitas sumber daya manusia dengan maksud agar bisa berdikari dan makin berkualitas dan memiliki jati diri (karakter). Dengan demikian, SDM dan komunitas yang nantinya aktif berkegiatan di padepokan tidak mudah diombang-ambingkan pemodal atau situasi sosial ekonomi yang cenderung praktis dan instan tanpa pemikiran yang kuat.
Eko, Hans, dan Donny diundang sebagai penyampai materi, karena bagi Sapto mereka bertiga memiliki andil besar dalam terwujudnya padepokan. Eko adalah arsitek dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) yang merancang padepokan yang terdiri dua bangunan: pendopo dan rumah tinggal.
“Saya pertama kali ketemu dengan Pak Sapto ini, skeptis. Seperti halnya orang Jakarta, ya seperti itulah. Pak Sapto datang menemui saya dengan percaya diri yang besar,” kata Eko. Tapi, lanjutnya, “setelah beberapa kali ketemu, dan beberapa kali interaksi, niatnya yang tinggi, saya melihat bahwa Pak Sapto serius”. “Saya pikir, orang ini edan juga, punya pemikiran dan tekad besar. Edan dalam arti positif tentunya,” katanya.
Akhirnya Eko yang sudah banyak membuat rumah-rumah untuk nama-nama terkenal seperti Rumah Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto, Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas) dan lain-lain, akhirnya mau menerima permintaan Sapto. Dia bikin rancangan dan disepakati bersama. “Tampaknya Pak Sapto nggak sabaran, tiba-tiba bilang Pak Eko saya sudah dapat dua limasan dan gebyoknya,” paparnya.
Maka dimulailah pembangunan padepokan. Dalam kesempatan ini, Eko membuka fakta, bahwa idi utama dalam membangun padepokan dan rumah tinggal ini, adalah bahwa “rumah itu harus menjadi benar-benar sesuai dengan hati pemiliknya, Pak Sapto dan Bu Chandrasary,” ungkapnya.
Maka dia bangun beberapa detil. Satu yang diungkapkan, ikon di tengah penghubung pendapa dan rumah utama yang berada di atas kolam, adalah simbol dari pasangan ini. “Bangunan itu ada tujuh kembang yang bermakna Sapto (tujuh), di atasnya ada bulatan sebagai simbol dari bulan atau chandra,” ujarnya. Chandra dalam bahasa sansekerta berarti bulan, sedangkan sapto berarti tujuh. Lantai pendopo ada goresan horisontal tujuh dan vertikal tujuh. Karena Chandrasary fanatik warna merah, maka spot utama di dapur adalah merah, meski tidak dominan tapi nuansa merah dengan sentuhan pelipit/garis terasa.
Sedangkan Donny dengan terus terang kaget ketika tahun 2010 diajak diskusi untuk membuat padepokan. “Ini konsepnya Mas Sapto, saya cuma membantu mewujudkannya delam bentuk presentasi,” kata Donny yang mengaku pernah jadi anak buah Sapto dan jadi kawan. “Saya waktu itu mikir, masa iya Mas Sapto mewujudkan idenya yang gila itu,” ujar Donny yang aktif bersama komunitas.
“Tiba-tiba saya dikasih tahu, dikasih gambar, bahwa padepokan sudah selesai,” kata Donny kaget. “Ternyata mas Sapto bener-benar mewujudkannya. Mas Sapto benar-benar gila dalam arti positif. Gak akan ada seperti ini kalau tidak orang punya ide gila.”
Untuk menangkap fakta dan aura, Donny menolak jemputan agar bisa mendapatkan suasana dan fakta yang tidak dibuat-buat. “Saya bangga dan salut, ini ide padepokan benar-benar gila.”
Mr Hans, yang sengaja diundang ke panggung sebagai salah satu narasumber diskusi, menyatakan bahagianya menjadi bagian dari padepokan. Hans adalah warga Belanda yang sudah lama menetap di Kaliurang, sejak tahun 2000, yang adalah pemilik tanah sebelumnya yang dibeli Sapto.
Meski bisa bilang “mboten saged” (tidak bisa- Red) tapi Mr Hans lancar menceritakan sejarah dia akhirnya mau menjual tanah tersebut. “Saya ingat Pak Heri yang menghubungi saya. Pak Heri wartawan Republika yang menyampaikan kalau Pak Sapto ingin membeli tanah saya,” katanya.
“Waktu ketemu Pak Sapto, saya sedang sakit jatuh naik sepeda, tidak langsung bicara dan menemui, meski sempat menjenguk saya di kamar sebentar,” papar Mr Hans yang datang bersama istri kesayangannya Susi. Waktu pertama Mr Hans tidak melepas karena harga penawaran Sapto rendah. “Tapi Pak Sapto bilang kalau mau dipakai kegiatan sosial,” kata Hans. Akhirnya, dilepas asal dipakai kegiatan yang bermanfaat.
“Bapak dapat “pulung”, keberuntungan, Mr Hans mau menjual tanah ke Pak Sapto dengan harga yang Pak Sapto sampaikan,” kata Susi Hans. Dan, ketika sekarang tanah itu benar-benar dipakai padepokan untuk masyarakat, Hans dan Susi bahagia. “Sukses buat Pak Sapto. Mimpi telah menjadi kenyataan. Selamat,” tambah Hans sambil mengajak salaman Sapto di panggung.
Sapto bersyukur dengan orang-orang yang memberikan kemudahan untuk merealisasikan idenya mau datang di acara. Heri Purwata yang banyak berburu tanah, sayang sebagai saksi pelaku, sedang ada tugas kantor ke Sorong, Papua.
Layar telah dikembangkan, saatnya Padepokan ASA @Wedomartani memulai menjalankan ide-idenya. Membangun peradaban baru untuk meningkatkan potensi bibit muda dengan pendidikan model house of sharing and incubation. Bismilah, go ayo mulai. ***
What others say about “Eko Prawoto Semula Skeptis pada Sapto” ? (0 Comments)