Oleh. Nana Yuliana
Judul : Insecurity Is My Middle Name
Penulis : Alvi Syahrin
Tahun : Cetakan 5 2021
Penerbit : Alvi Ardhi Publishing
Tebal : 264 halaman
Apakah ada yang merasa bahwa insecurity seperti seorang musuh? Tidak nyaman kalau dia ada. Tidak ingin ngobrol sama dia. Bahkan kalau berjumpa, ingin rasanya berbelok arah dan pergi menjauh. Tapi, kita akan disapa secara hangat saat mulai membaca. Seperti ini,“Hai, ini aku, your insecurity. Lewat buku ini, kita coba jadi teman, yuk?” Berteman dengan insecurity? Tawaran yang bisa kita sambut dengan duduk santai sambil curhat panjang lebar tentang segala hal yang membuat kita merasa tidak aman.
Yuk kita mulai dari insecurity tentang penampilan fisik. Menjadi seseorang yang good looking mungkin sangat didambakan. Tetapi lewat buku ini, kita diingatkan bahwa good looking tidak pernah jadi syarat untuk menjadi sukses. Salah satu kutipan menarik, “…jika kamu berusaha sungguh-sungguh untuk hal baik yang kamu kejar, penampilan fisik nggak akan jadi hambatan”. Penulis memberikan kita contoh tentang menjadi cantik lewat cara-cara yang bisa diusahakan, cantik karena memiliki pendidikan, cantik karena mempunyai bakat, cantik karena bisa menginspirasi, cantik karena kepribadian, cantik karena perilaku, dan cantik karena baik hatinya.
Memikirkan masa depan juga dapat membuat kita merasa insecure. Kita meragukan kemampuan kita, bingung memulai karir darimana, lelah mencoba sesuatu, merasa belum bisa membanggakan orangtua, masih pengangguran, kalah dengan orang dalam, belum sukses, dan sebagainya. Kutipan yang bisa kita ingat dari buku ini, “Standar hidup kita bukan apa yang orang bilang kepada kita”. Saran dari penulis saat kita sedang mencoba mengembangkan skills:
“Pertama: Kamu nggak harus bisa semuanya. Mulai satu aja dulu.
Kedua : Pola belajar semua skill itu sama. Harus mau praktik, dan harus mau belajar teori. Harus mau kepayahan. Harus mau bersabar dengan perjuangannya, harus mau konsisten.”
Daripada merasa cemas dengan masa depan, lebih baik berbuat sesuatu untuk menigkatkan kemampuan, untuk memiliki ilmu dan semuanya dimulai dengan hal kecil yang dapat kita upayakan secara konstan.
Kemudian insecurity tentang pencapaian orang lain. Bagaimana jika hidup ini adalah perlombaan? Ada lomba jadi orang sukses, jadi glow-up, jadi orang kaya, jadi orang pintar, dan jadi orang populer. Menurut pendapat penulis, tidak masalah kita mengikuti lomba-lomba itu, namun masih banyak kompetisi lain yang mungkin lebih cocok untuk kita, misalnya kompetisi menjadi diri yang lebih baik, lebih bijaksana, lebih dermawan, pandai mengambil hikmah dalam setiap kejadian, kompetisi jadi orang yang mampu memberikan apresiasi untuk hal-hal sederhana dalam hidup, kompetisi jadi teman yang peduli dan lainnya. Penulis kembali memberi catatan bahwa, “Tapi, kamu nggak harus jadi pemenang di semua kompetisi itu. Nggak semua kompetisi harus kita menangkan, tapi perlu kita perjuangkan, sebisa kita”.
Pada halaman-halaman terakhir, kita diajak untuk berdamai dengan insecurity. Dengan bekerjasama dengan rasa tidak aman, kita bisa merasakan sinyal untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Kita juga bisa mulai melakukan sesuatu. Namun, penulis memberi tahu jika kita tidak boleh salah niat. Jangan karena insecurity sudah hilang, kita jadi berhenti berbuat sesuatu atau berhenti menjadi orang yang lebih baik. Selain itu, insecurity bisa saja selalu mampir dalam kehidupan kita. Kutipan favoritku ketika rasa tidak aman menyapa kita, “Jangan menyerah untuk sesuatu yang memang sudah jadi bagian dari dunia: the ongoing insecurities”.
What others say about “Mau berteman dengan insecurity?” ? (0 Comments)