“Namaku Hadi Sumarmo, usiaku kira-kira 70an lebih, kalau pengen tahu pasti berapa usiaku tanyakan pada anak-anakku, kurasa mereka lebih tahu”.
“Hari ini adalah hari istimewa yang kutunggu-tunggu selama tiga bulan terakhir, hari di mana aku bisa berkumpul dengan kawan-kawan seperjuangan dulu. Hari istimewa, di mana aku bisa mengenakan seragam kebesaran berupa batik warna biru, di mana aku menyemir sepatu usangku, di mana aku meminta minyak rambut menantuku agar rambutku tertata rapi, serta meminta sedikit parfum yang dimiliki cucu perempuanku”.
“Pagi ini aku dan kawan-kawanku berkumpul untuk menunggu bus yang akan mengangkut kami menuju tempat acara berlangsung. Bus yang akan membawa kami menuju negoro, tempat Ndoro Sultan bertempat tinggal. Sepanjang perjalanan tak pernah mataku berhenti untuk melihat keluar jendela, menikmati jalan-jalan menuju negoro yang sudah tak lagi kukenal. Seingatku dulu ketika masih muda aku sering bolak balik dari negoro ke tempat tinggalku yang terletak 40an kilometer sebelah barat negoro. Kini di usia senjaku sangat jarang aku bisa kembali ke negoro, itulah kenapa aku begitu gembira begitu tahu kabar bahwa tempat yang akan kami tuju terletak di negoro. Sembari sedikit berharap, semoga selama perjalanan ke tempat tujuan kami melewati keraton tempat tinggal Ndoro Sultan.”
“Akhirnya sampai juga bus ini di tempat tujuan, tak kuketahui secara pasti berapa lama perjalanan karena aku lupa mengenakan jam tangan kesayanganku. Agak sedikit terkejut, tempat berlangsungnya acara ternyata di sebuah pendopo limasan. Suatu bentuk tempat tinggal yang jamak kulihat pada masa lampau, yang kini sangat jarang kutemui termasuk di daerahku sendiri, kecuali balai desa.”
“Acara dimulai, seperti biasa sambutan-sambutan dan laporan kegiatan serta keuangan. Dilanjutkan dengan menyanyikan mars kebesaran kami dengan lantang, walaupun aku sampai sekarang masih samar-samar antara hafal atau hanya bersenandung nada. Kemudian seperti biasa menikmati makanan kecil dan makanan besar yang disiapkan tuan rumah, pada akhirnya kuketahui kalau beliau sang empunya rumah sedang berulang tahun. Maka tak heran jika kami sempat menikmati nasi tumpeng dan ingkung ayam. Diakhiri dengan sesi hiburan orgen tunggal, kami boleh bernyanyi apa saja. Tak ada lagu yang aku bisa nyanyikan, tapi tak membuat semangatku patah untuk tampil ke depan. Aku mengacungkan tangan, berdiri, berjalan ke depan dengan sedikit gemetar, memegang halo-halo, dan kulantunkan beberapa tembang Mijil, tembang yang mengajarkan kepada manusia untuk selalu kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan.”
“Acara semacam ini terasa sangat spesial bagiku. Di usia senja ini memang jarang aku bisa ngomong panjang lebar seperti hari ini. Di usia senja ini terlalu banyak orang yang menepikan keberadaanku. Di usia senja ini sudah tak mampu lagi diriku bepergian jauh, selain faktor usia, juga diriku yang tak lagi bisa mengenali daerah di luar kampungku, entah karena daya ingatku yang sudah mulai berkurang atau memang pembangunan fisik yang sudah terlampau cepat dan tidak lagi kukenal.”
“Tapi aku bersyukur karena kawan-kawan seperjuanganku masih setia untuk tetap mengadakan acara reuni seperti ini. Dulunya kami mengadakan kegiatan ini setiap enam bulan sekali, tapi sekarang kami percepat menjadi tiga bulan sekali. Mengingat semakin cepatnya waktu berlalu dan semakin cepatnya dari kami harus ijin untuk selamanya tidak lagi bisa mengikuti reuni.”
“Terimakasih kawan-kawan seperjuangan yang masih mau terus berbagi cerita. Terimakasih Padepokan ASA, sebuah Rumah Berbagai Generasi yang telah Peduli mau berbagi tempat kepada kami manusia-manusia senja ini. Dan terimakasih kepada Tuhan atas semua berkah dan kesehatan yang telah diberikan untuk menjalani kehidupan selama ini”.
Padepokan ASA @Wedomartani, 4 Oktober 2015
What others say about “Menggapai ASA di Rumah Berbagai Generasi Peduli” ? (0 Comments)